WE JUST BROKE UP
Pagi
ini aku terbangun dan mulai memikirkanmu yang jauh disana. Hari ini aku
memenuhi janji untuk menemuimu. Aku pun bergegas dan bersiap. Tak lupa kubawa bucket bunga sebagai tanda selamat
setelah pelatihanmu.
Stasiun
Jakarta Kota pagi ini padat. Aku menunggumu sambil beberapa kali menoleh kesana
kemari. Takut kalau kamu tidak menyadari keberadaanku yang telah menunggu. Dan
takut kalau kamu melupakan ku, juga janji kita.
Aku
memandang bucket bunga yang kubawa,
lalu kulepas setiap kelopak dari bunga-bunga itu. Aku merasa sedih. Air mata
tertahan. Mulut tak pandai berucap. Hidungku selalu menarik nafas panjang
hingga dadaku terasa sakit. Telingaku seperti tertutup, karena aku tidak
mendengar apapun. Di lain sisi, aku juga senang hari ini kita akan bertemu.
Aku
seorang yang tidak pandai menghafal detil wajah seseorang. Aku melupakan
parasmu. Yang kuingat hanya suara dan setiap kedipan matamu saat menatapku.
Tapi, aku paling pandai mengingat. Terutama, mengingat setiap kenangan yang kita
lalui bersama. Maaf. Yang sedang kuingat adalah kenanganku bersama dia. Bukan
kamu.
Kucoba
mengalihkan ingatan kenanganku tentang dia menjadi kenangan kita. Aku berdecak
sebal sambil air mataku tertahan. Nafasku terpogoh-pogoh tak kuat menahannya.
Sesekali kutepuk tulang dadaku yang terasa menyakitkan ini. Dan menarik nafas
panjang yang terasa mencekik.
“Intaaan…”
panggilmu dari kejauhan. Aku menoleh kearah sumber suara sambil membentuk
senyum sabit.
Kini
kamu berada dihadapanku. Aku masih menyimpulkan senyum sabit. Aku menatap bola
matamu yang bulat itu lekat-lakat dengan sedikit mendengak, karena tinggimu
yang melebihiku. Sedang kamu menunjukan ekspresi betapa senangnya bertemuku.
Sulit
melukiskanmu yang sekarang, tapi bisa kusederhanakan demikian: kulitmu
menghitam mungkin karena sering terpapar sinar mentari selama masa pelatihan
TNI. Gaya rambutmu cepak, sama seperti saat terakhir kita bertemu. Bentuk
tubuhmu semakin terlihat. Kalau dulu, tubuhmu mudah tertiup angin.
“Ayo… keretanya sudah mau jalan.” Kamu
menarik tanganku.
“Eh, iya maaf.” Aku mengekori.
“Aku tahu, kamu merindukan saya kan?”
tanyamu.
“Iya. Jelas aku merindu.” Kini kita
terduduk di bangku kereta.
“Kapan terakhir kita bertemu?” tanyamu
lagi.
“Sebelum kamu pelatihan,” jawabku singkat.
“Berarti sekitar 5 sampai 6 bulan lalu
ya?”
“Sepertinya.” Aku mengangguk-angguk.
“Benar kamu merindukan saya?” tanyanya
lagi.
“Iya, aku selalu merindukanmu, Pras.” Aku
meyakinkanmu.
“Bagaimana? Kamu sekarang kerja atau
kuliah?”
“Kuliah,” jawabku.
“Jurusan apa?”
“Komunikasi. Tapi, aku berencana untuk
pindah jurusan semester depan nanti. Ke sastra.” Jelasku.
“Hmm, begitu. Nanti kita makan dulu ya,
baru kerumah saya.” Ajakmu, aku hanya mengangguk.
“Kamu sekarang suka bicara dengan sebutan
saya, aku tidak biasa mendengarnya.”
“Ah, iya maaf. Sebenarnya saya, eh, aku
canggung bertemu denganmu lagi. Terima kasih telah menungguku.” Dengan wajah
tertunduk aku memberikan bucket bunga
setengah rusak itu padamu.
“Ceritakan semuanya padaku. Ceritakan apa
saja yang telah kamu lakukan selama aku tidak disampingmu.” Pintamu.
“Iya, Pras,” jawabku.
Orang-orang
di dalam kereta hanya perduli dengan dirinya. Ekspresi setiap orang
menggambarkan perasaannya hari ini. Aku memperhatikan wajahmu diam-diam saat
kamu asik bermain dengan ponselmu. Ekspresimu hari ini terlihat senang.
Tiba
di stasiun Sudirman. Kita menuruni kereta dan terus berjalan tanpa diselingi
percakapan. Aku tahu, kamu tidak akan senang jika aku memulai percakapan sambil
berjalan. Keluar dari stasiun kita
menuju parkiran dan berjalan kearah mobil Datsun
berwarna silver. Kamu memencet
tombol yang ada di kunci mobilmu untuk mematikan alarm dan membukakan pintu untukku. Aku tersanjung.
Sepanjang
perjalanan, aku tidak memulai percakapan, begitu pun kamu. Kamu menyalakan
musik dari tape di mobilmu. Terputar
lagu kesukaan kita, yaitu Greendays. Sesekali
aku mengangguk-anggukan kepala menikmati nada musik.
Sesekali
aku juga memergokimu yang diam-diam menatapku sambil menyetir. Tersimpul senyum
dan gelak tawa apabila kupergoki. Aku bahagia.
Tiba
di restoran yang biasa kita kunjungi. Restoran bergaya klasik nan modern. Masih
pukul 10 pagi. Restoran itu masih sepi. Aku pilih tempat makan di lantai 2,
dipojok dekat balkon. Pengunjung di waktu itu hanya kita. Lalu, pramusaji datang
melayani.
“Kamu mau pesan apa?” tanya kamu.
“Milkshake strawberry dan pancake.”
Pintaku.
“Mas, ayam bakar dan pancake nya satu.
Milkshake strawberry-nya dua,” katamu.
“Now
tell me. Anything. When I’m without you.” Pintamu.
“Kita makan dulu aja ya.” Ajakku.
“Now.”
Tegasmu.
“Aku sebenarnya sedang sakit. Dokter
mendiagnosis pankreatitis akut. Bukan penyakit yang parah. Sekarang aku sedang
menjalani rawat jalan. Aku juga menjalani kontrol rutin.” Jelasku.
“Sudah berapa lama?” tanyamu.
“4 minggu ini, sepertinya.”
“Lalu?” tanyamu lagi.
“Aku tidak ada masalah dengan perkuliahan.
Semua baik-baik saja. Hanya yang seperti kukatakan tadi, aku berencana pindah
jurusan karena beberapa alasan.” Jelasku lagi.
“Okeh. Kamu harus jaga kesehatan. Jaga
hati juga.” Pintamu, lalu pramusaji datang membawa pesanan kita.
“Kita makan dulu, obrolannya sambung
nanti.” Katamu, dan aku menuruti.
**
Aku
memperhatikanmu lagi diam-diam. caramu makan masih sama saat terakhir kita
bertemu. Aku menyuapi potongan terakhir pancake ke dalam rongga mulutku.
Mengunyah dengan perlahan sambil sesekali manatapmu.
Aku
dan kamu telah menyelesaikan makanan masing-masing. Lalu, menyeruput gelas
berisi milkshake strawberry yang tadi kamu pesan. Hampir setengah gelas
sisanya. Lalu, kamu membersihkan mulutmu dengan tissue. Dan bergegas ke toilet.
Sekembali
mu dari toilet. Kamu menatapku dengan tatapan sendu nan bahagia. Aku tidak bisa
menahan senyum akibat tatapanmu. Lalu, kamu memulai percakapan.
“apa selama ini ada yang mendekatimu?”
Terbelalak mataku saat kamu menanyakannya. “Jujur saja. Aku tak apa.” Desakmu
dengan lembut. Aku menatapmu sambil mengangguk.
“Pantas, kamu menghapus semua pertemanan
kita di social media. Kamu juga mengganti password.”
Katamu.
“Aku tidak bermaksud. Aku hanya takut.” Jelasku.
“Ya, tak apa. Apa kamu masih dengannya
sekarang?” tanya kamu. Aku menggeleng.
“Kamu cerita saja. Kamu tahu kan kalau
saya, eh aku tidak pandai bertanya.” Katamu. Aku mengangguk.
“Aku telah selingkuh dari kamu, Pras,”
ceritaku. “Maafkan aku. Yang pertama, namanya Wahyu. Dia temanku. Kamu kenal
dia kan? Dia yang dulu ku kenalkan saat mengantarku menemuimu. Dia tidak tahu
kalau aku dan kamu berpacaran. Aku juga tidak cerita pada siapapun.” Lanjutku
menarik nafas panjang.
“Tapi,” sambungku. “Saat ku kenalkan dulu.
Aku belum berpacaran dengan Wahyu. Aku menerimanya karena dia telah menyukaiku
untuk waktu yang lama.” Jelasku.
“Kamu kasihan?” Potongmu.
“Tidak. Aku, hanya kesepian saat itu.”
Tegasku.
“Kapan kamu pacaran dengannya?” Tanyamu.
“Ntah. Aku hanya mengingat, setelah aku
dan Wahyu berpacaran. Dia tidak menghubungiku selama 3 minggu. Makanya, aku
memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengannya.” Kamu mengangguk mendengar
ceritaku.
“Yang kedua?” tanyamu.
“Namanya Taza. Aku kenal dari kontak BBM.
Awalnya kami hanya mengobrol tentang Naruto. Lalu, Taza berpacaran dengan
temanku dan mengunjungi rumahku. Saat itu adalah pertama kalinya kami bertemu.
Hubungan Taza dan temanku kandas. Kemudian, Taza menjalani hubungan denganku.
Tapi, sekarang hubungan kami sudah berakhir. Taza adalah yang terakhir.”
Ceritaku lagi.
“Bucket
bunga yang rusak tadi. Apa kamu sedang mengingat kenangan bersama dia?”
tanyamu. Aku mengangguk.
“Sepertinya hubungan kalian berakhir belum
lama ini. Sudah sejauh mana kamu dengan Taza? Tanyamu. Mataku terbebelalak
mendengar pertanyaanmu.
“He
is my first kiss. Dan… dan kami…” putusku.
Air
mata yang sedari tadi tertahan kini mengalir deras. Suara isak tangis
mendampingi air mata yang semakin deras meluncur. Kamu memberi tisu padaku
untuk menghapus sendiri air mataku. Aku tahu kamu bukan orang yang romantic.
Tapi, kamu adalah pendengar yang baik.
“Kamu sudah tidur dengannya?” tanyamu.
“Tidak. Tidak sampai sejauh itu.” Tegasku
dengan sedikit tersentak dan diiringi isak tangis.
“Lalu?”
“Dia lelaki jahat yang pernah ku kenal.
Jujur, aku tidak menyesal telah melakukan semua hal bersamanya. Aku hanya kesal
dan marah padanya.”
“Kenapa? Dan kenapa kamu menyukainya?”
tanyamu.
“Dia meninggalkanku tanpa alasan. Dan aku
suka suaranya. Setiap kali mendengarnya. Dia membuatku jatuh cinta.” Kataku.
“Lalu?”
“Setelah sebulan kami berpacaran.
Keesokannya dia mengabaikanku. Dia tidak membalas pesan-pesan ku. Lalu,
kuakhiri hubungan dengannya. Dan dia tidak mengirim pesan satu kata pun
padaku.” Akhir ceritaku.
“Ternyata dia pandai merebut hatimu, dan
dia juga pandai mempermainkannya.” Katamu.
“Maafkan aku, Pras. Aku telah menduakanmu,
juga mereka. Aku jahat. Aku bukan yang terbaik untukmu.” Kataku masih sambil
menangis.
“Tak apa, semuanya sudah berakhir kan? Kesetiaanmu
sedang diuji.”
“Maafkan aku, Pras.”
“Iya, kumaafkan.” Sabarmu.
“Marahlah padaku, Pras. Tak apa, jangan
terlihat seakan kamu baik-baik saja.”
“Aku sedang marah padamu sekarang. Tapi,
tidak akan mengubah apapun kan? Semua telah terjadi. Kamu juga telah mengakhiri
hubungan dengan mereka berdua.” Tegasmu.
“Aku.. aku juga ingin mengakhiri hubungan
kita, Pras.” Pintaku sambil menatap matamu dengan sungguh-sungguh.
“Kenapa? Aku sudah memaafkanmu. Aku juga
tidak akan balas dendam.”
“Tidak. Aku hanya ingin mengakhiri
semuanya Pras. Maaf aku tidak bisa melanjutkannya.” Tangisku makin menjadi.
“Kalau itu maumu aku tidak bisa menolak.
Terima kasih sudah mau menungguku dan menepati janji kita hari ini.” Katamu.
“Maafkan aku, Pras. Sekarang, aku ingin
pulang. Aku tidak ingin kerumahmu.” Pintaku.
“Aku mengerti, biar kuantar kamu pulang.”
Kamu menawarkan diri.
“Tidak perlu. Aku ingin sendiri.” Pintaku.
“Aku mencintaimu, Intan. Kumaafkan semua
perbuatanmu dibelakangku.” Katamu.
“Terima kasih, Pras.” ucapku
Aku
pergi dari restoran itu. Kamu membuntutiku. Aku masih terisak. Sakit rasanya
untuk melepasmu. Tapi air mata ini bukan sakit karena akhir dari hubungan kita.
Air mata ini untuk dia yang telah memenangi hatiku darimu. Tapi dia juga yang
membuatku menangis seperti ini. Aku menyayangimu, Pras. Tapi, hatiku telah
direbut darimu. Maafkan aku.
Komentar
Posting Komentar