Sebuah kisah, seorang gadis yang membutuhkan uang. Bukan
karna pergaulan yang memaksanya untuk lebih banyak uang. Apalagi biaya hidup
keluarga.
Gadis ini tinggal ditengah keluarga yang orangtuanya cukup
punya uang untuk makan setiap hari dan membeli baju lebaran saat akan tiba hari
raya. Di samping, dia seorang broken
home.
Karna, orangtuanya cukup punya uang. Saudara yang tak cukup
uang pun dipenuhi setiap bulan. Sampai kebutuhan gadis ini tak bisa tertutupi.
Semakin dewasa seseorang, maka lebih banyak uang yang
dikeluarkan. Pulsa, kumpul dengan teman, dan make-up karna dia seorang gadis
muda.
Hampir, semua orang tua menganggap kebahagiaan bisa di
dapatkan di rumah. Lalu, bagaimana dengan si gadis yang seorang broken home, tinggal di rumah baru?
Seperti apa kebahagiaan yang didapat?
Apa orangtua itu, sudah mendapatkannya di rumah? Sampai bisa
berpendapat demikian. Toh, kumpul dengan teman kantor di restauran terasa lebih
nikmat, kan?
Apa maksud kebahagiaannya seperti, punya masalah di kantor
dengan atasan atau bawahan, di bungkus lalu, diberi ke anak-anaknya?
Dengan sumpah serapah penuh sampah, dikeluarkan sampai
kotoran terkecil ditunjukan! Apa seperti itu?
Apa tugas seorang anak, menampung cacian itu sampai penuh?
Kesalahan sedikit saja dipermasalahkan.
Kalau dulu, saat gadis itu masih kecil, sang penyair
berkata, "Kata mereka diriku, selalu dimanja.. Kata mereka diriku, selalu
ditimang.."
Come on dude,
masih kecil kalau gak dimanja, diapakan? Gaplok?
Kalau ga ditimang, diapakan? Banting? Itu kata mereka, yang merasakan gadis
itu.
Gadis ini bercerita, dia pernah hampir di gorok, lehernya.
Padahal, orangtuanya yang bermain gila.
Kenangan mana kira-kira yang selalu terngiang? Ucapan. Saat
orangtua si gadis bilang, "Monyet, lu!" dengan nada penuh penegasan.
Garis-garis urat diwajah diperlihatkan. Suara yang gemetar.
Daripada, saat pisau itu hampir menancap!
Gadis itu lebih baik menerima tamparan karna emosi sesaat
daripada sumpah serapah. Karna, rasa sakit fisik lebih cepat mengering daripada
fikiran yang terendam kata-kata cacian.
Kini, gadis itu merenung di hadapan cermin. Tentu, dia
beragama. Depresi mulai mengincarnya. Percobaan bunuh diri pun sering
terlintas.
Kumpul dengan teman, menceritkan semua masalah dengan orang
terdekat. Yang tau, bagaimana diri gadis itu. Saran, dari seorang psikolog.
Orangtua fikir, mereka yang paling tau bagaimana sifat dan
sikap anaknya? Yang tidak 24jam bersama. Lucu!
Kumpul dengan teman, butuh uang! Siapa yang jaman sekarang
hanya duduk mendengarkan minum segelas air mineral? Kentang goreng dan soda
terasa cukup.
Si gadis meminta uang pada orangtuanya yang cukup punya
uang. Tidak diberi. Bahkan untuk sebulan sekali? Gadis itu, harus mengais.
Apa dengan cara begitu, bisa mengajarkan anak pintar
mengelola uang? Menghargai orangtua yang mencari nafkah? Untuk satu bulan
sekali? Bukan kah keterlaluan?
Si gadis pun, melalui fikiran yang sulit untuk mendapat
uang. Menjual emas milik orangtuanya? Menarik selembar di dompet orangtuanya ketika
bulan berada di atas kepala?
Itu salah. Si gadis tersadar. Menghubungi temannya bercerita
apa yang sedang dipertimbangkannya, temannya malah menyuruh menjejalkan diri.
Diberi lah duabelas angka itu dengan si pria yang mampu membelinya.
Si gadis mulai menikmati. Uang yang dia dapat lebih banyak.
Kumpul dengan teman melepas stres tidak perlu berfikir ongkos. Toh, orangtua
tidak bersama si gadis selama 24jam, kan?
Ini bukan kisah bagaimana nanti si gadis mendapat karma. Apalagi kisah bagaimana si gadis
tidak beragama. Atau bahkan, si gadis tidak memikirkan tentang si orangtua.
Komentar
Posting Komentar