THE TRUTH UNTOLD
#1 Pertemuan Pertama Biasanya adalah Takdir
Pertemuan pertama biasanya adalah
takdir. Tetapi, tidak dengan pertemuan pertama aku dan dia. Namun aku sadar,
jika aku akan jatuh cinta padanya suatu hari nanti.
Berawal dari aku salah membalas
perbuatan seseorang yang telah menjahili temanku. Sarah, namanya. Sarah kesal
karena ada sekelompok cowok yang sedang asik merokok di ruang penyimpanan alat
olahraga. Jelas Sarah marah, dan menegurnya.
“Woy! Masih muda kok ngerokok. Mau
jadi apa di masa depan?!” Bentak Sarah memperingati.
“Trus kalau gue ngerokok jadi
pengaruh buat masa depan lo?” Ketus salah satu cowok bertopi menghapiri Sarah.
“Ya, enggak juga, sih. Tapi, kan
gue peduli sama polusi yang gua hirup karena lo ngerokok!” Sergah dan ragu
Sarah mengucapkan kata-kata itu.
“Lo urusin aja masalah lo sendiri
sana!” Dorong cowok itu dengan keras sampai Sarah tersungkur. Lututnya
mengeluarkan darah dan Sarah menangis sejadi-jadinya.
Sekelompok cowok itu menetawakan
Sarah, “Ngadu aja sana. Jadi cewek gausah kecentilan makanya!” Bentak cowok
bertopi itu yang langsung membuang sisa rokoknya di hadapan Sarah.
Sarah menangis sambil menghampiri
ku dan menjelaskan apa yang dia alami. Dia tidak ingin melaporkan perbuatan
cowok bertopi dan teman lainnya pada guru. Dia juga merasa bersalah karena ikut
campur.
“Anak kelas mana, sih? Biar gue
hajar mulutnya! Cowok kok mulutnya gak bisa dijaga!” Sergah ku yang sudah
berapi-api ingin memberinya pelajaran.
“Gausah Kan! Gue juga gak tau dia
kelasnya dimana.” Jelas Sarah masih nangis tersedu.
“Ciri-ciri orangnya lo hafal gak?”
Tanya ku dengan tandas.
“Dia, lumayan tinggi. Dan pakai
topi. Gue gak inget wajahnya kayak apa,”
“Oke! Serahin masalah ini ke gue!
Biar tau rasa dia!”
Dengan perasaan marah menyelimuti
seluruh fikiran dan hati. Aku memperhatikan seluruh kelas dan murid-murid di
sekolah.
Lantai dasar terdapat delapan ruang
kelas yang ditempati murid kelas X, ruang guru, auditorium, ruang computer. Gak
mungkin junior kelas berani ngerokok di ruang penyimpanan olahraga.
Aku beranjak naik ke lantai dua,
yang terdapat delapan ruang kelas murid kelas XI, perpustakaan, ruang kepala
sekolah, dan ruang laboraturium. Aku memperhatikan setiap murid yang berada di
dalam ruang kelas. Nihil!
Ku lanjutkan naik ke lantai tiga,
juga terdapat delapan ruang kelas murid kelas XII, ruang OSIS, dan ruang
kegiatan ekstrakulikuler. Aku, cukup takut untuk menjelajah di kawasan senior,
karna aku kawasan ku di lantai dua. Tapi, demi Sarah, aku rela membuang rasa
takut!
Dan, tetap saja nihil. Aku sudah
memeriksa setiap ruangan, bahkan bertanya juga dengan senior, “Kak, tau gak
cowok tinggi yang pakai topi?” Mereka pun, gak tau siapa orang itu.
Aku beranjak ke lantai empat, atau
atap. Tidak ada siapapun disini. Aku segera turun dengan berlari ke lantai
dasar, tanpa memperhatikan anak-anak tangga yang banyak jumlahnya.
Di luar area ruangan, terdapat
lapangan basket, sepak bola, kolam renang, UKS, gudang, dan Kantin. Disana pun,
aku tidak mendapat kan orang dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh Sarah. Ah!
Aku frustasi.
Aku berjalan lunglai menyeret kaki
karena terlalu lelah mengitasi seluruh area sekolah. Begitu masuk di kawasan
ku, yaitu lantai dua. Aku melihat dia! Cowok dengan ciri-ciri yang disebutkan
oleh Sarah.
Dia sangat tinggi, tubuhnya gagah,
dan tampan? Ah! Aku tak perduli soal penampilan, ini tentang Sarah. Aku harus
memberinya pelajaran.
Kuikuti terus dirinya dengan
sembunyi-sembunyi. Aku yakin, dia gak mungkin sadar. Karena, banyak siswa
lainnya yang berada di koridor.
Cowok tinggi itu, masuk ke dalam
ruang kelas XI-4, sedangkan aku dan Sarah berada di ruang kelas XI-6. Aku
melirik, ingin tau dimana letak kursinya.
“Dapat! Tunggu aja, istirahat
nanti!” Cecarku dalam batin.
Istirahat kedua pun sudah waktunya.
Aku menunggu di depan kelasnya menunggu sepi penghuni ruang kelas itu. Tak
lupa, mustard yang sudah kusiapkan di
dalam plastik, punya salah satu penjual di kantin.
Ketika kelas mulai sepi, aku
mengendap-endap masuk. Aku bersyukur CCTV sekolah belum diperbaiki. Aku membuka
tasnya, dan hanya terdapat beberapa buku di dalam sana. Tanpa ragu, aku
menuangkan isi mustard ke dalam
tasnya.
Selesai dengan urusan balas dendamku.
Aku melangkah cepat meninggalkan kelas cowok itu. Dan berlari dengan tangan
yang gemetar menuju kelas.
“Ah, gila, gila, gila! Hahahah
akhirnya, gue bisa berulah lagi!” Bangga ku melakukan hal tak terpuji itu.
“Gue takut banget, Kan. Kalau nanti
lo ketahuan orangnya gimana?” Gumam Sarah yang takut setengah mati itu.
“Tenang aja, Sar. Gue yang
melakukan, gue juga yang tanggung jawab!” Paparku.
Sepulang sekolah, aku dan Sarah
masih menonton anak basket dari pinggir lapangan. Aku lihat cowok yang kukerjai
tadi sedang mencuci tasnya di keran pinggir lapangan.
“Eh, Sar! Sar!” Panggil ku dengan
semangat sambil menyenggol-nyenggol lengan Sarah.
“Kenapa?” Sahut Sarah.
“Tuh, liat! Cowok yang tadi gue
kerjain. Pasti dia kan orangnya. Hahaha gue pasti gak salah orang! Aduh, kasian
banget, sih!” Cemooh aku pada cowok itu.
“Hah?! Bukan! Bukan dia, beda
banget.” Sarah terkejut.
“Ah, yang bener? Dia tadi pake
topi, kok. Dia juga tinggi.”
“Bener, Kan! Dia itu Raka, anak
kelas XI-4. Gue kenal dia, kok!” Terang Sarah.
“Duh, serius? Gi-gimana dong? Gue
gak kenal dia. Aduh!” Aku mengigiti bibirku karena panik.
“Udah deh, minta maaf aja.
Daripada, nanti malah ketahuan kalau kita salah orang!”
“Duh, Sarah! Kalau minta maaf, ya
ketahuan dong!” Larut aku dalam kepanikan.
“Ya, mau gimana. Salah gue juga,
harusnya bantu lo cari tau orangnya tadi. Udah deh, minta maaf aja, ayo!” Ajak
Sarah.
Dengan penuh ketakutan yang luar
biasa karena sudah salah orang, bahkan menumpahkan mustard ke dalam tasnya. Dan mengenai semua bagian bukunya, yang
kini berada di tempat sampah, samping keran air.
Aku dan Sarah menhampirinya. Kami
ketakutan untuk mengaku bersalah pada Raka.
“Raka!” Panggil Sarah dan mendorong
tubuhku ke hadapannya.
Sarah lari meningalkanku
terbirit-birit, “Dasar gak setia kawan!” Cibir ku meneriaki Sarah.
“Ah, so-sorry! Sini, biar tasnya gue yang bersihin!” Aku langsung
merebut tasnya.
“Gak usah. Maaf buat apa?”
Suaranya sangat lembut dan manly, aku sedikit mendongak menuju
metanya yang menyorot tajam. Dan mengerjap-erjapkan mataku beberapa kali karena
terpana. Walau, Raka memiliki tatapan matanya yang tajam, tapi sangat sendu dan
hangat jika diperhatikan.
Aku menghela napas, mencoba
menjelaskan dengan tenang. “Tas lo, gue yang masukin mustard ke dalamnya. Gue fikir, itu tas orang yang udah jahatin
temen gue, karena ciri-cirinya pakai topi.”
“Oh, jadi lo dari tadi ngikutin
gue, karena sama dengan ciri-ciri orang jahat itu.”
“Iya! Sekali lagi gue minta maaf.
Biar gue aja yang cuci tasnya. Pasti susah bersihinnya. Sebagai gantinya, lo
pakai tas gue aja, gak feminine banget, kok.”
“Yah, karna lo ngakuin kesalahan
lo, tanpa gue harus cari tau orangnya. Gue terima tawaran lo. Trus buku gue
gimana?”
“Ah, nanti gue buatin catatan
lagi!” Celetukku tanpa pikir.
“Oke!”
Aku mengeluarkan seluruh isi tasku.
Dan memberikannya pada, Raka. Agar dia bisa pakai untuk sementara.
Yah, begitulah kira-kira. Pertemuan
pertama kami yang bagai bencana.
#2 (RAKA) Frustasi
Setelah pertemuan kami yang bagai
bencana itu, kami berpacaran. Tentu ada prosesnya. Tak terasa kami sudah lima
tahun menjalin hubungan sebagai kekasih.
Tak dipungkiri lagi, wajahnya masih
sama saat aku bertemu dengannya pertama kali. Wajah ketakutan saat mengkui
kesalahan, itu. Padahal aku tak begitu kesal. Dan perasaanku mengalir kepada
Kania begitu saja.
Aku dan Kania kini berkuliah di
salah satu perguruan tinggi swasta, lumayan jauh dari rumah kami. Tak ada niatan
untuk berkuliah di tempat yang sama.
Hanya waktu itu, Kania gagal dalam
ujian SBMPTN. Dan aku, memang dari awal ingin berkuliah disini.
Menyuruput kopi sambil menatap
layar laptop menjadi kebiasaan kami sepulang kuliah, karena jurusan yang kami
ambil berbeda. Maka, jarang sekali kami punya waktu luang untuk bertemu di
kampus.
Entah sejak kapan kita mulai jarang
berbicara kepada satu sama lain. Entah mulai sejak kapan aku berbohong padamu.
Karena kamu selalu saja sama, tak ada perubahan dengan mimic wajahmu. Kamu
selalu tersenyum, sejak kapan kamu mulai bohong padaku?
Terkadang, aku merasa frustasi,
bosan, dan tertekan. Terutama, aku takut. Karena tak pernah bisa membayangkan
perasaanmu sebenarnya.
Karena takut menyebabkan
pertengkaran, aku jadi hati-hati dengan perkataanku. Karena aku takut kamu akan
khawatir dan salah paham. Aku takut, kamu akan berhenti tersenyum, dan
memnintaku untuk memutuskan hubungan.
Tanpa sadar, aku mulai berbohong.
Mungkin kamu hanya menahan diri
akan segala sesuatu tentangku, karena kamu tidak pintar mengungkapkannya.
Melihatmu begitu, membuatku sulit mengutarakan perasaanku. Dan, seiring
berjalannya waktu, aku lebih suka kalau kamu berubah.
Sesekali, aku menyesap kopi sambil
menatap wajahnya yang serius saat frustasi mengerjakan tugas. Aku jadi
tersenyum sendiri. Tak sadar, bahwa kehadiranmu juga membuatku merasa bahagia.
“Ah, aku mau udahan aja,” aku
melihatnya terkejut, jari-jarinya mulai berhenti menekan keyboard.
“Maksudku—“ ketika aku ingin
menjelaskan.
“Ah! Aku lupa kasih softcopy tugas bahasa inggris! Aku harus
hubungi Arisa, semoga dia udah kerjain tugasnya!” Teriak Kania tak bisa menahan
kepanikannya.
Aku menyesap kopi pahit itu lagi,
aku terlalu percaya diri. Apa dia mulai tidak peduli dengan perasaanku?
Wajahnya, masih lucu saat dia mulai
panik. Aku tak mungkin bisa menghilangkan ekspresi itu dari ingatanku. Dan, dia
mulai menjabak-jambak rambut halusnya yang tergerai itu.
“Hah.. beruntung Arisa belum
ngumpulin tugasnya, jadi bisa nebeng, hehe.”
“Dasar! Kamu harus perhatikan juga
tugas lain dong kalau ada dateline!”
Tegasku.
“Hahaha, maaf. Terlalu banyak
tugas. Tugasku baru selesai, nih. Kamu udah?” Tanya Kania seperti biasa, dengan
raut wajah sedikit mengernyit.
“Ya, aku udah selesai dari tadi.
Kamu mau cake lagi?” Tawarku menjaga
obrolan yang agak canggung ini.
“Boleh! Aku mau yang biasa ya,
makasih sayang.” Semangat Kania, kalau soal makanan.
Raut wajah itu, aku tau. Kamu
panik, aku selalu tau. Bahkan, saat kamu berbohong sekalipun, kamu tak pandai
menutupinya. Aku senang, tandanya kamu masih ada rasa padaku.
Kania asik bercerita tentang Sarah,
yang akhir-akhir ini punya pacar baru yang ternyata adalah juniornya di kampus.
Kami dan Sarah kuliah di kampus berbeda.
Aku melihat dia meletakan sebelah
tangannya di atas meja, sudah lama dia tak melakukan ini. Apa dia sedang rindu?
Dengan senang hati, aku ingin
sekali menggenggam tangannya. Ingin jari-jari kecilnya melekat diantara sela
jariku yang besar.
Aku menggenggam tangannya. Dia,
hanya melihatnya dan tak melanjutkan percakapannya. Aku salah langkah? Dia
menatapku dengan lekat. Tatapannya penuh dengan makna yang tak bisa kuterjemah.
Kania tersenyum, “Malu ah, pegangan
tangan disini, kita kan bukan mau nyebrang, hehe.”
“Oh, oke. Hahah.. aku hanya mau
tau, ukuran jarimu masih sama dengan terakhir kalinya atau engga, maaf.”
Suaraku parau.
Terakhir kali, yang aku tak ingat
kapan.
“Aku gak bermaksud jahat. Hanya—“
“Iya, aku tau. Hehe.. gak usah
dijelasin, kok.”
Aku menjawabnya dengan senyum kecut
dan sedikit tertawa. Aku tau tanpa dia harus menjelaskan. Aku sangat tau.
“Hm, udah jam delapan nih. Kita,
mau makan dulu, atau.. langsung pulang aja?” Tanya Kania dengan nada
naik-turun.
“Kalau kamu gak laper, kita pulang
aja.” Sahutku.
“Oke.” Tak ada penegasan sama
sekali dari Kania.
Apa suaramu selalu terdengar
seperti itu? Kenapa, akhir-akhir ini kita sulit berkomunikasi? Apa kamu sudah
tak lagi jatuh cinta padaku?
Aku mengantar Kania tepat di depan
rumahnya, aku sedang tak ingin mampir. Takut mengganggu dirinya yang mood nya tidak bagus ini.
“Nanti, aku telfon yah?” Tawarku.
“Kayaknya, aku mau langsung tidur.
Besok ada kuliah pagi. Kamu hati-hati dijalan. Night sayang.” Tegasnya dia mengatakan padaku.
“Oke, night too!”
Apa kita selalu seperti ini? Kapan
terakhir kali panggilan masuk dariku di daftar panggilanmu? Kapan kamu mulai
lelah mendengar suaraku?
#3 (KANIA) Perubahan Suhu
Hari ini moodku sedang baik, biasanya aku akan makan sepuasnya dengan Raka.
Mengingat-ingat semua yang kita lalui.
Bertengkar? Itu sudah menjadi
makanan sehari-hari selama kita masih menjalin hubungan. Tapi, Raka tidak
pernah menunjukannya padaku, bahkan saat dia sedang marah.
Aku tak tau perasaannya, karena dia
tak pernah menunjukannya padaku. Tanpa sadar, aku mulai sedikit bicara
dengannya.
“Kamu inget, gak? Waktu ada anak
yang pingsan disebelah kamu?”
“Iya, untung badannya gak berat.
Hahaha.. gak kayak kamu,” canda Raka.
“Kalau aku berat, kamu gak mungkin
kuat gendong aku, pas kakiku terkilir naik gunung!” Aku mengerucutkan bibir
semaju-majunya.
“Itu acara karyawisata, ya? Dulu,
kamu masih kurus. Sekarang kayaknya aku gak kuat, deh..” ledek Raka diiringi
tawa kecilnya.
Disaat itu, aku menganggapmu superman yang akan menyelamatkanku di
saat genting. Hanya saja, tak pernah kusadari, kamu bisa jadi superman untuk orang lain.
“Oke, aku gak akan tepis fakta itu,
hahaha… Tapi, kamu tau?” Aku senang melihat dan mendengar tawanya.
“Apa?”
“Begitu kamu pergi setelah anter
dia ke UKS. Dia langsung bangun, dan mengaku hanya akting, biar bisa digendong
kamu,” suaraku pecah, seketika merasa cemburu mengingat masa lalu.
“Hahaha.. apa aku emang sepopuler
itu, ya?” Sombong Raka, yang ingin kugigit saja rasanya.
“Padahal, seantero sekolah udah tau
kalau kita pacaran. Kita jadi pasangan terheboh saat itu, ah! Aku jadi kangen.”
Paparku sambil menyuap pizza yang ada
di genggaman.
“Udah, jangan bahas masa lalu,
nanti susah move on!” Sergahmu
mengejutkanku.
Aku menatap matamu dengan lekat.
Memperhatikan kamu membuka mulut dengan lebar untuk menyuap pizza. Memikirkan, apa kamu mulai bosan
denganku?
Mengapa kamu selalu mengucap kata
perpisahan dengan tidak serius? Aku butuh kejelasan.
“Kayaknya, enak kalau kita nonton
film deh. Udah lama gak nonton sama kamu!” Godaku.
“Eh? Berarti kamu sering nonton
film dengan orang lain?” Aku mendengar nada suaramu sedikit parau.
“Yah, dengan temanku. Kita kan
jarang ketemu kalau bukan weekend gini,”
jelasku tak ingin membuatnya salah paham.
“Yah, kamu benar! Maaf.”
Kenapa kamu sering mengucap kata
maaf? Ini bukan salahmu.
Aku tak bertemu denganmu selama
berhari-hari. Aku jadi menyadari arti kata ‘lesu’. Itu ketika aku tak bisa
bertemu orang yang ingin ku temui. Tapi, aku selalu bertemu dengan orang yang
tak ingin ku temui.
Setelah bertemu dengamu, seperti
mengisi battery ponsel dengan full. Begitupun dengan seangatku. Walau,
nanti akan berkurang karna lelah.
Tapi, sadarkah kamu? Kita berdiri
di atas tali yang kendur? Yang siap putus kapan saja, jika salah satu dari kita
menginjak nya terlalu kencang.
Kenapa rasa debarku kini meredup?
Apa sudah terlalu biasa aku melakukan hal-hal ini denganmu?
Kenapa akhir-akhir ini senyumku
terasa kaku? Kenapa hidung ku mulai merasa seperti tersedak? Kenapa air mata ini
tak mau keluar?
Aku terlalu banyak tanya. Padahal,
tinggal kutanyakan saja padamu.
Tetapi, kamu terlalu malas
mendengar penjelasanku.
Tau dari mana kalau kamu sudah
paham sebelum aku mengatakannya?
#4 (RAKA) Rotasi
Tahun pertama kita menjalin kasih,
aku tak bisa bayangkan. Kamu orang yang telah menjahati ku dengan mustard yang lengket itu.
Kamu bilang, kamu berdebar setiap
kali aku menatap matamu dengan sengaja.
Kamu memukulku dengan pelan, karena
tak bisa menahan malu.
Apalagi saat aku menggenggam erat
tanganmu. Kamu, tak ingin aku melepasnya.
Ah, apa aku saja yang merasa?
Hal-hal sepele pun kita sering
lakukan. Kita sering membolos kelas untuk berdua di perpustakaan, setiap kali
Sarah yang menjadi petugas jaga.
Kamu tau? Untuk pertama kalinya aku
mencium seorang perempuan, dan aku senang itu kamu. Kamu berhak dapat ciuman
pertamaku.
Begitupun aku, yang mendapat ciuman
pertamamu. Aku mengintip sedikit saat kamu menutup mata dengan kencang.
Lucunya!
Aku gemas. Tak tahan melihat raut
wajahmu yang bingung karena ini pertama kalinya untuk kita. Aku langsung
tertawa lepas, melepas ciuman kita yang hanya menempel itu.
Bahkan, di tahun itu, tak pernah
kita melewatkan mencicipi segala hidangan daerah sekolah. Mulai, pedagang kaki
lima, restoran sederhana, warteg, hingga kita harus menabung untuk ke kafe yang
baru di buka itu.
Tak lupa, semua film keluaran baru
kita tonton. Buta cinta, itu yang dikatakan orang. Ya! Karena aku sudah dibuat
mabuk oleh dirimu.
Ingat ketika kita menyewa orang?
untuk berhadapan dengan wali kelas. Karena, dua hari tidak masuk sekolah tanpa
ijin.
Sementara orang itu membuat alasan.
Kita malah tertawa puas.
Kita sangat tidak tahu adab!
Hahaha… tapi aku bahagia, karena menjalankannya denganmu.
Oh, Kania, apa aku salah telah
berharap terus padamu?
#5 (KANIA) Kelembapan 0%
Aku masih asik mengunyah pizza yang tinggal beberapa gigit lagi.
Kamu menyeruput minuman, yang aku tak tau namanya.
Kamu asik sekali memperhatikan aku
makan, Raka. Sambil sesekali kamu bersihkan saus yang menempel di pinggir
mulutku. Aku senang, sepertinya sudah lama kita tak begini?
“Mamah aku nanyain kamu, weekend selanjutnya main dirumah ku aja,
yah?” Ajak aku.
“Oke. Aku juga udah lama gak ketemu
orang tua kamu. Mereka apa kabarnya?”
“Yah, seperti biasa. Papah masih
sibuk perjalanan dinas. Mamah sibuk dengan organisasinya. Weekend depan mereka libur, makanya aku ajak kamu main dirumah.”
Seru ku.
“Yah, semoga aku bisa ijin kerja,”
ragu Raka.
“Ah, aku jadi ingat! Saat pertama
kali memperkenalkan mu pada orang tua ku,” tampik ku menalan rasa penasaran.
“Itu dua tahun kita pacaran, kan?”
“Iya! Kamu ketakutan banget. Aku
sampe ngakak ngeliat kamu panik, hahaha…”
“Iyalah! Gimana gak panik, kamu
bilang orang tua kamu galak. Aku bingung harus ngomong apa, hahaha…”
“Ya, ampun. Dulu aku jahat banget
ya sama kamu.” Ungkap ku.
“Emang! Apalagi, pas disuruh datang ke rumah kamu, yang
ternyata lagi arisan keluarga besar. Ahk! Malu banget aku, karena tiba-tiba
jadi kikuk,” keluh Raka, mengekspresikan kejadian saat itu.
“Ya, keluarga aku baik-baik aja
sama kamu, kan? Malah kamu asik foto-foto, aku diabaikan,” keluh ku
mengerucutkan bibir.
“Semua memang berkat ketampanan
ku!” Sombong Raka padaku.
“Ewh!” Ejekku tak terima
pengakuannya.
Kamu masih sama, Raka. Mulai kapan
kamu tidak memberitahu aktivitas mu akhir-akhir ini? Aku yang kurang
memperhatikanmu atau sudah seperti ini dari awal?
Sampai berapa lama lagi aku harus
menahan ucapanku demi menjaga perasaanmu?
Aku bukan tidak ingin berubah.
Hanya, aku tak bisa. Kamu terlalu menggenggam tanganku terlalu keras.
Aku masih suka dengan seluruh
perhatianmu yang tidak berubah, setelah lima tahun bersama. Kamu masih terlalu
memanjakanku.
Aku masih suka suaramu yang terlalu
menggema setiap kali aku mendengarnya. Bahkan membangunkan seluruh sanubari ku.
Ah, aku berlebihan.
Aku bukan suka kamu apa adanya.
Tetapi, aku jelas suka kamu karena nyaman.
Bisakah kita mempertahankan
hubungan ini?
#6 (KANIA) Hari Aku Merindukanmu
Bodoh!
Kata itu yang terus ku katakan
padamu karena berusaha membuatku jatuh cinta.
Aku tak semudah itu!
Setelah kejadian mustard itu, Raka tak melepaskan ku
dengan mudah. Dia tidak begitu saja membawa tas ku pergi.
Dia kembali lagi, dan berkata,
“Kata maaf aja gak cukup sebenarnya!” Tandasnya membisikan ditelingaku.
Aku memutar kedua bola mataku tak
percaya kata-katanya. Berbeda sekali dengan sebelumnya! Sedikit mengigit
bibirku, aku berbalik arah menantangnya.
“Lo mau apa dari gue? Tas baru?”
"Gue mau nomor ponsel
lo," celetuknya.
"Hah?!"
"Ya, siapa tau aja nanti gue
baru kefikiran sebagai ganti permintaan maaf lo."
"Nyebelin banget, sih!"
Tandasku
"Yang nyebelin, biasanya
ngangenin."
Aku menatapnya iba, paham yang
dimaksud Raka, namun sedikit jijik.
"Catet! Gue ga mau ngulang
yang lo ga denger,"
"Siap!" Semangat Raka.
"0890-1234-5678. Jangan
hubungin gue kalau bukan hal penting. Fikirin baik-baik permintaan maaf yang
sesuai selera, lo!" Tandasku, masih membersihkan sisa mustard .
"Oke deh, gue tinggal ya.
Bye!" Raka langsung melengos pergi.
Hari hampir gelap. Sepertinya sekolah
sebentar lagi tutup. Tak ada kegiatan esktrakulikuler yang berlangsung hingga
menjelang Maghrib.
Sarah benar-benar meninggalkan ku.
Beruntung, masih ada sisa uang di saku. Karena, biasanya aku nebeng motor Sarah.
Raka yang hanya membawa buku tulis,
membuang bukunya yang terkena mustard, aku
merasa sangat bersalah. Tapi, saat melihat isi buku tulisnya, hanya kosong
tanpa ada catatan pelajaran sedikitpun!
Kesal!
Pantas saja, dia dengan santai
membuang buku. Apa yang dipelajari disekolah, kalau dia tidak mencatat
pelajaran, dan bagaimana dengan tugas.
Sampai dirumah, Raka memulai
obrolan denganku via pesan. Sikapnya, yang nyebelin, mengharuskan aku membalas
pesannya. Kalau tidak, ya dia akan trus spam ponselku dengan pesan tidak
penting.
Raka, tidak membahas permintaan
maaf apa yang pantas aku dapatkan setelah menjatinya. Dia terus menggangguku
dengan pesan penuh gombalan.
Sepertinya dia sedang mendekatiku?
Tak hanya lewat pesan. Raka juga
terang-terangan mendekatiku saat di sekolah. Ntah itu di kantin, lapangan
olahraga, dan menghampiri aku ke kelas.
Aku kesal karena dia terus
menggangguku. Tapi, aku juga senang, karena hari-hariku kini jadi ada yang
berbeda.
"Ngapain, sih? Ganggu aja
lo!" Aku ingat, kata-kata itu aku lontarkan karena aku sedang menahan
sakit PMS dan badmood tugas bahasa
inggris belum dikerjakan.
Setelah itu, Raka tidak pernah
menggangguku lagi di sekolah. Bahkan, aku jarang melihatnya. Raka, juga sudah
tidak mengirimkan aku pesan lagi.
Mungkin, dia sudah punya pacar?
Aku sadar, tanpamu aku terasa
hampa.
Tak sadar, aku mulai mencari
keberadaanmu di area sekolah. Bahkan, aku juga nekat ke kelasmu.
Kenapa, aku merasa seperti
kehilangan sesuatu yang penting?
Dua minggu berlalu, tanpa ada kabar
pesan dan kehadiranmu. Aku mulai mencoba melepaskanmu perlahan, melepas
kehadiranmu yang sudah menjadi rutinitasmu menghampiriku selama tiga bulan ini.
Saat itu, aku sedang membaca komik
sendirian di bangku penonton lapangan basket sekolah. Aku sedikit tertawa
lepas, karena komik yang kubaca terlalu lucu.
Kamu yang memperhatikanku dari
belakang, menunggu aku selesai membaca komik. Bisa saja, kamu langsung
menegurku. Sepertinya, kamu tahu, kalau aku tidak suka diganggu saat baca
komik.
Begitu selesai, aku membaca chat kita selama ini. Hampa rasanya,
hariku tanpa gangguan darimu.
Aku mengetik 'Hai' dan ragu untuk
dikirim. Aku mendecak keras, karena tak tahu persaan apa yang kurasakan ini.
Aku begitu merasa kehilangan sesuatu.
"Kirim aja," celetuk mu
di telinga kanan ku.
"Aahh!" Aku teriak
histeris karena terkejut. "Ngagetin aja!" sambungku sambil mengelus
dada.
"Kirim aja, nanti dibales
kok!" Serumu dengan semangat.
"Apa sih!" Elak ku malu.
"Lagi sibuk gak?"
"Engga. Kenapa emang?"
Jawabku.
"Kalau gak sibuk, jadian
yuk?"
Duaarr!!
Jantung ini makin berdegup kencang,
lebih dari saat dikejutkan oleh Raka. Aku mulai menelan ludah yang terasa
sulit.
Aliran darahku terasa mengalir
deras, seperti perasaan bahagia yang mencoba melompat-lompat keluar. Aku
mengatupkan bibirku. Mataku tak tentu melihat arah karena tak berani menatapmu,
yang tepat 7cm di depan wajahku.
"A.. Apa sih! Trus kalau sibuk
putus?"
"Jadi? Mau kan?" Aku
mengerutkan dahi, ragu dan senang yang sedang bergulat di hati dan fikiranku.
"Gatau, ah!" Aku segera
meninggalkan Raka dan menuju kelas. Raka membututi dari belakang tanpa sepatah
kata.
Jam pulang sekolah dari jam tiga
tadi. Karena ada eskul dan les yang diikuti, jam sembilan baru sampai rumah.
Ponsel pun sudah mati karena lowbatt dan
aku segera mengisi baterai dan membersihkan diri.
Mematikan lampu kamar dan mengecek
notif ponsel itu menjadi rutinitas sebelum tidur. Raka menelfon begitu ponsel
kunyalakan.
"Halo? Kenapa baru diangkat
sekarang?" Panik Raka.
"Kenapa?"
"Lagi sibuk gak?"
"Engga. Mau tidur!"
"Kalau gak sibuk, jadian
yuk?"
"Masih sama kayak tadi?"
"Ah, oke. Gue serius!"
"Chat aja gak usah telfon!"
"Bilang aja ma-"
Malu. Ya memang, aku malu untuk
mengatakannya langsung. Apalagi nada suaraku berubah jadi riang seperti ini. Ah,
sungguh! Ini hal yang menakjubkan.
Raka, menanyakan jawabanku kesekian
kalinya, aku bilang padanya, "Ayo jadian, aku akan berusaha
mencobanya," kalimat seperti itu terlintas difikiranku yang sedang ku
ketik, dan ragu mengirimnya.
Aku fikir, mungkin akan cepat
putusnya setelah jadian. Karna, Raka lumayan populer di sekolah. Pasti, banyak
juga yang mengantri menjadi pacarnya.
"Kania, terima kasih! Sudah
malam. Goodnight!" Tak lupa emot cinta dibalasan pesan berikutnya.
#7 (RAKA) Kelembapan 99%
Kania, sepertinya aku mulai
tersadar. Matamu mulai berkaca-kaca. Hidung mu seperti bersoda. Sesekali kamu
tersentak mendengar ucapanku.
Tenang saja, aku hanya bicara.
Bukan berarti, semua pembicaraanku serius. Kenapa kita canggung seperti ini?
Aku masih suka, rambutmu yang tergerai.
Apalagi kalau kamu mulai mengikat bak ekor kuda. Seperti yang kamu lakukan
sekarang.
Aku masih suka, obrolan hangat
kita. Tetapi, akhir-akhir ini menjadi dingin. Obrolan atau perasaan kita?
"Kemarin aku lihat, kamu
pulang bareng cowok. Dia siapa?" Tanyaku dengan tenang.
"Dia junior di club. Kebetulan
arah rumahnya searah." Jawabmu sambil meletakan sikut di meja.
"Kebetulan? Bukannya tertarik?
Aku tau, akhir-akhir ini kita jarang pulang bersama. Tetapi, apa harus terjadi
kebetulan seperti itu?" Nadaku yang kini sedikit tegas.
"Aku tidak punya hubungan
apapun dengannya, selain junior di club. Kenapa kamu hanya melihat dan tidak
memanggilku?" Tanyamu tak merasa bersalah.
"Aku suka penjelasanmu yang
tenang itu. Bukannya kamu harus ucapkan sesuatu?" Tanyaku yang hampir
meledak.
"Apa? Kamu sudak tak percaya
padaku lagi?" Nada suaramu kini menjadi asing.
"Oh, maaf aku memaksamu
menjawab. Aku ingin pulang, sekarang."
Aku melangkah terlalu cepat sampai
di parkiran mobil. Kamu mengikutiku tanpa sepatah kata pun.
Kania, apa kamu mulai bosan? Kenapa
kamu berlari? Kenapa aku sulit menggapaimu?
Selanjutnya, akankah aku percaya
padamu lagi?
"Raka, aku sadar. Sepertinya
hubungan kita sedang tidak sehat."
Ah! Inikah akhirnya?
"Aku selalu senang padamu,
Kania. Aku lupa, sudah berapa kali aku jatuh cinta padamu. Aku, sangat suka
padamu." Ucapku tanpa ragu.
"Aku tau. Aku juga
begitu," Kamu mulai menangis. "Tapi, haruskah kita seperti ini?"
"Maafkan aku, Kania." Air
mataku juga mengalir.
"Apa, kamu masih percaya padaku?"
Tanyamu dengan terisak. "Kenapa kamu tidak memeluk lagi, saat aku
menangis, Raka?" Tangismu makin pecah.
"Aku yang salah, maafkan aku
karena kurang memperhatikanmu, Kania." Aku mendekap tubuhnya dan
membiarkannya menangis di pundakku.
Ponselmu bergetar, ada panggilan
masuk disana. Tertera juniorku. Sudah
pasti, itu junior yang mengantarmu pulang.
Begitu kamu usap air matamu dan
mengangkat telfonnya. Terlukis senyum bahagia disana. Seperti saat dulu, aku
tatap matamu.
Aku ingat detil wajahmu. Saat senang,
sedih, atau sakit karena PMS.
Tak sadar, aku mulai tersenyum
kecut. Teriris melihat kamu senyum seperti itu pada orang lain.
Sudah berapa lama, kamu sembunyikan
wajah ceriamu dariku?
Padahal, aku mati-matian
mendekatimu, dulu.
#8 (KANIA) Sebelum Badai
Terkejut, saat aku dengar kamu
melihatku dengan orang lain. Aku juga tak ingin menyembunyikannya darimu.
Hanya, aku menunggu saat yang tepat.
Sudah lama, aku tak menangis
seperti itu. Hati yang kaku ini, langsung luluh begitu kamu mendekapku.
Seperti, aku terselamatkan dari tersedak rasa pedas.
Raka, kamu terlalu sering meminta
maaf padaku. Sebegitunya kamu ingin melepasku?
Aku senang, saat kamu sadar sudah
lama tidak memperhatikanku.
Perasaan lega seperti ini, yang
sudah lama tak aku rasakan. Aku merasa beruntung memlikimu.
Banyak hal yang ingin kukatakan
padamu, tentang hubungan kita. Tapi, semua hilang saat kamu mendekapku.
Aku mulai mencintaimu, lagi. Bukan,
aku jatuh cinta lagi, sekian kalinya. Sama seperti yang kamu ucapkan padaku
tadi.
Junior itu, tiba-tiba menghubungi.
Aku terkejut dan langsung melepas pelukanmu, mengangkat telfonnya, kufikir
lebih penting.
Aku sadar, kamu cemburu. Aku
melirikmu diam-diam merasa bahagia.
Sudah lama, aku tak melihat wajahmu
seperti itu. Tertulis di wajahmu, kalau kamu kesal.
Kemana Raka yang selama ini aku
kenal? Haha!
"Makasih ya, udah anter aku
sampai rumah." Ucapku sumringah.
"Bukannya itu harus?"
Tanyanya menaikan sebelah alis.
"Oke, haha. Nanti telfon aku
begitu sampai rumah, oke?" Tawarku.
"Aku usahakan. Aku harus pergi
dulu ke suatu tempat." Ragunya.
"Raka, jangan ada rahasia lagi
diantara kita. Aku mau mendengar kamu bercerita lagi, tentang hari-harimu. Aku
menunggu saat itu," Aku menggengam tangannya.
"Makasih, sayang."
"Kita, harus luruskan hubungan
yang tidak sehat ini. Kamu hati-hati dijalan. Bye!"
Sepertinya, kita harus menggali
jalan lain untuk menembus jalan buntu. Tak baik kalau kita memutak balik dengan
paksa.
Artinya, mengulang hubungan kita
lagi.
#9 (RAKA) Tak Terhindarkan
Ah, kurasa aku paham dan tau persis
perasaan apa yang sedang bergejolak ini.
Cemburu, walau ini bukan pertama
kalinya. Perasaan di bohongi seperti ini, yang terus mengusik diriku.
Aku tak tahan, Kania! Apa yang
harus kita lakukan untuk hubungan ini?
Kenapa kamu berhubungan dengan
seseorang yang tertulis di ponselmu, 'Junior'. Kenapa tak kamu tulis saja
namanya?
Kania, saat aku mengajak 'jadian'
dulu, itu bukan hanya sekedar sebuah kata karena aku jatuh cinta padamu. Tapi,
aku juga serius untuk mencintaimu.
Aku tahu, kamu tidak terlalu suka dengan
kepopuleran. Apalagi, saat seantero sekolah tau kita ada hubungan. Hanya teman
yang dekat denganmu saja yang mendukung.
Kamu paling tahu, banyak gadis di
sekolah menyukai karena ketampananku. Tapi, kamu juga yang paling tahu, kalau
aku hanya milikmu seorang.
Ketika ada seseorang yang masuk ke
hubungan ini dengan mudah. Aku di masa lalu terlalu naif, aku fikir. Aku
terlalu mendambakanmu. Kalau tahu sebegini mudahnya dia merebut senyummu
dariku.
Aku tak bisa percaya lagi.
Ini bukan masalah waktu, karena
kita tak bisa setiap hari bertemu. Ini juga bukan masalah kamu yang berpaling
ke orang lain. Tapi, karena aku terlalu keras menggenggam tanganmu, hingga
perih.
Aku tak bisa mencintaimu lagi,
Kania.
#10 (KANIA) Kekuatan Sepatah Kata
Aku kira, kamu akan mencari-cari
kesalahan dan menyalahiku. Aku kira, kamu hanya tidak bisa berubah karena waktu
akan terus berjalan.
Aku kira, tak sepatutnya aku
percaya ajakanmu menjalin hubungan itu suatu kebanggaan tersendiri.
Raka, bukan aku tak jujur padamu.
Seperti yang kamu katakan, aku yang
paling tahu kalau kamu mencintaiku dengan tulus.
Ingat saat aku bilang, "Aku
akan berusaha mencobanya,"? Apa itu untuk menjalin hubungan dengamu? Atau,
mencoba mencintaimu?
Dia, yang kamu kira sebagai
seseorang yang masuk ke dalam hubungan kita, hanyalah sebatas kesalah pahaman.
Kamu tak ingin mendengarnya, kecewa.
Aku juga yang paling tahu, selama
lima tahun kamu hanya menggenggam tanganku dengan keras, tanpa mengenal ku
lebih dalam.
Aku juga yang paling tahu, kenapa
kamu tidak bertanya saat itu, karena sudah tak ada lagi rasa mencintaiku saat
kamu meninggalkan meja.
Aku juga yang paling tahu, sudah
sedalam apa aku dibuat mabuk oleh cinta darimu.
Hingga saat akhir seperti ini, kamu
mengatakan alasan bekerja, untuk melamarku.
Aku jatuh cinta untuk kesekian
kalinya. Tapi, ini akhir yang sudah terjadi.
Terima kasih, Raka. Aku terlalu
menyakitimu.
Berpisah adalah, satu-satunya jalan
untuk tidak menyakiti siapapun.
Kukatakan dengan suara yang tak
terdengar olehmu, aku mencintaimu, Raka.
Thx for everyone who enjoy my stories.
Much Love, Bamsrowl
~END~
Squel 2 will up with tittle
"We Just Broke Up"
Maybe squel 3 very very soon~ with
tittle "Restart?"
Menurut saya ceritanya sangat enteng , mudah dipahami karna diambil dari keseharian kita dan kisah selama sekolah , dan penggunaan bahasanya tepat bagi semua orang yang membaca ,hanya dibagian tertentu yang seperti dilebihkan , tapi itu baik tidak buruk , terus semangat membuat karya , semoga suatu saat nanti mimpi mu tercapai... Amin
BalasHapusaamiin, terimakasih atas masukannya dan sudah mampir ke blog aku utk membaca cerita ini. masih ada cerpen lainnya di folder blog, silhkan dibaca:)
HapusA creative story with a good language style who could be understand to any people. Don't stop writing and keep on your passion
BalasHapusthank you so much!! <3
HapusCan wait squel 2!!!!
BalasHapusがんばってください!!!💕💕💕🤙
ありがとう!!!
Hapusbikin chapter 2 kakaaakk baper asli ori ga kw❤
BalasHapusinsyaallah, makasih sdh baca dan suka ceritanyaa <3
Hapusp.s jangan panggil kakak ah wkwk